Awalnya ditulis dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh OpenAI.
Surat-Surat yang Bernapas
Aku semakin mencintai aplikasi ini, meskipun baru beberapa minggu sejak pertama kali mengunduhnya. Slowly memberiku sesuatu yang benar-benar bisa kunantikan setiap hari. Ada sesuatu yang sangat membumi di dalamnya, sesuatu yang intim. Ritmenya yang lambat, sifatnya yang disengaja dalam mengirim dan menerima surat, membuat segalanya terasa lebih bermakna. Tidak ada balasan instan, tidak ada guliran cepat. Hanya pikiran yang nyata, kata-kata yang nyata, dan waktu yang nyata. Dan karena itu, setiap surat menjadi lebih dari sekadar pesan. Ia menjadi sebuah momen.
Menunggu, anehnya, adalah salah satu bagian favoritku. Itu membangun rasa penasaran, ya, tetapi juga mendorong kedalaman. Ketika kamu tahu bahwa kata-katamu tidak akan tiba seketika, kamu akan memikirkan dengan hati-hati apa yang ingin kamu katakan dan bagaimana mengatakannya. Kamu mulai melihat pikiranmu bukan sebagai obrolan yang lewat begitu saja, melainkan sebagai sesuatu yang layak untuk dibagikan, dikenang, dan diterima. Dan karena itu, aku menulis dengan niat. Aku memastikan setiap kata mencerminkan siapa diriku, keyakinanku, batasanku, kelembutanku, dan kekuatanku.
Menulis selalu menjadi hal yang sangat aku pedulikan, tetapi melalui platform ini, menulis menjadi sesuatu yang sakral. Aku sering menghabiskan dua hingga empat jam untuk satu surat, menulis, menghaluskan, dan menyuntingnya. Bukan karena aku lambat, tetapi karena aku benar-benar peduli. Aku beristirahat untuk merenung, bernapas, berdoa. Dan aku kembali ke halaman dengan lebih banyak hal untuk dikatakan, lebih banyak yang bisa kuberikan. Aku ingin setiap surat membawa bobot ketulusanku dan kelembutan dari nilai-nilaiku. Beberapa orang mungkin menganggap bodoh menghabiskan begitu banyak waktu untuk sebuah surat sahabat pena, tetapi bagiku, itu adalah bentuk pengabdian — pada hubungan manusia, pada kejelasan, dan pada kebenaran. Aku sangat bangga pada setiap tulisan yang kubuat.
Namun ruang ini memberiku lebih dari sekadar kegembiraan menulis. Ini menjadi ruang pembelajaran — dari budaya yang belum pernah kutinggali, kepercayaan yang belum pernah kutemui, hingga rutinitas harian yang belum pernah kuketahui. Aku memetik pemikiran tentang kedewasaan, kiat mencari kerja, ketahanan emosional, dan kebiasaan budaya. Aku belajar bagaimana orang lain hidup, mencintai, dan bertahan. Dan semua itu membantuku mendekati pemahaman tentang siapa aku ingin menjadi saat memasuki masa dewasa, sebuah tahap yang aku nantikan dan sejujurnya, aku takuti.
Kedewasaan selalu tampak jauh bagiku, seperti pantai yang aku tidak yakin bisa kucapai. Aku takut pada apa yang dimintanya dariku — tanggung jawab, kemandirian, identitas. Tetapi membaca kisah orang lain, mendengar bagaimana mereka menghadapinya, melihat bahwa tidak ada yang benar-benar tahu semuanya — itu menghiburku. Itu memberitahuku bahwa aku tidak harus sempurna. Aku hanya perlu menjadi nyata, terbuka, dan mau bertumbuh.
Saat ini, ada beberapa surat yang menungguku untuk dibalas, dan satu sedang dalam perjalanan. Sejauh ini aku telah mengirim sekitar delapan surat, dan masing-masing memberiku sesuatu — kebaikan, wawasan, dan harapan. Orang-orang di sini tidak hanya mencari cara untuk menghabiskan waktu. Mereka mencari koneksi, ingin berbagi, ingin merasa terlihat. Dan menurutku itu sendiri adalah sesuatu yang sakral. Di dunia yang penuh dengan jawaban cepat dan komunikasi yang dangkal, ruang ini adalah napas segar yang langka. Ini adalah tempat di mana kamu bisa menjadi manusia — tanpa harus meminta maaf.
Aplikasi ini, dan orang-orang di dalamnya, mengingatkanku bahwa menulis masih memiliki kekuatan. Bahwa kerentanan adalah bentuk keberanian yang sunyi, dan kelembutan, ketika dipilih dengan sadar, adalah bentuk perlawanan. Di sini, dalam kelambatan setiap surat, kita diberi izin untuk benar-benar mengatakan apa yang kita maksud, duduk bersama kebenaran kita, dan membagikannya dalam bentuknya yang paling mentah. Tidak ada tergesa-gesa, tidak ada kebisingan. Hanya ketulusan.
Ini lebih dari sekadar mengirim kata-kata ke seluruh dunia. Ini adalah ruang tempat kita belajar — bukan hanya tentang orang lain, tetapi juga tentang diri kita sendiri. Tentang bagian diri kita yang belum kita beri nama. Tentang kerinduan yang tak kita sadari selama ini kita bawa. Nilai-nilai yang terus kita kembali padanya. Batas-batas yang kita bangun. Kelembutan yang kita lindungi. Dalam menulis untuk orang lain, kita mulai melihat diri kita sendiri dengan lebih jelas — bukan sebagai siapa yang kita pikir harus kita jadi, tetapi sebagai siapa kita sebenarnya.
Ini bukan sekadar menulis surat.
Ini adalah kembali pada niat.
Pada kehadiran.
Pada jiwa.
Ini adalah pemberontakan yang sunyi terhadap dunia yang terburu-buru memisahkan kita. Dan mungkin, keajaiban yang lebih dalam dari semuanya adalah ini: kita datang ke sini mencari koneksi, hanya untuk menyadari bahwa kita juga sedang mencari kejelasan, sebuah cermin yang lembut diangkat kembali kepada kita melalui pendengaran orang lain.
Jadi aku bertanya-tanya…
Bagian mana dari diri kita yang telah kita bungkam hanya agar lebih dapat diterima oleh dunia yang jarang mendengarkan dengan lembut? Dan apakah bagian-bagian itu masih menunggu, dalam diam dan setia, hanya untuk didengar? Dan kapan terakhir kali kita benar-benar duduk bersama suara kita sendiri — bukan untuk membuktikan sesuatu, tetapi hanya untuk memahaminya? Begitu banyak kebenaran hidup diam-diam di dalam diri kita, berharap seseorang, di suatu tempat, akan mengajukan pertanyaan yang tepat — bukan untuk memperbaiki kita, tetapi untuk menyaksikan kita.
Dan pada akhirnya, kita harus bertanya: apakah kita lebih dibentuk oleh cinta, atau oleh bertahan hidup? Dunia seperti apa yang sedang kita bangun jika kita hanya mendengarkan mereka yang paling keras bersuara, tetapi mengabaikan mereka yang paling jujur berbicara? Apakah kita sudah begitu fasih dalam berpura-pura sehingga kita lupa bahasa kehadiran — keheningan, ketulusan, kelembutan — yang dulu membuat kita menjadi manusia?
Dan jika demikian…
Apakah kita sedang menciptakan kehidupan yang bermakna, atau sekadar bertahan dalam kehidupan yang diberikan kepada kita?